Senin, 21 Mei 2012

Ketagihan Makanan Berkualitas Buruk?

Saya Copas dari millis Food Combining asuhannya Pak Wied dan Bu Andang


  Mengatasi Ketagihan Makanan Buruk


 
Pada tiap pembahasan dalam rubrik
ini,  kita hampir selalu membicarakan
beberapa hal yang sering ada dalam makanan dan sejumlah makanan yang berakibat
buruk bagi kesehatan. Misalnya, tentang ‘camilan dan gorengan’, buka: 
 
Sudah tahu kalau kita harus makan buah
untuk sarapan, agar kita mendapatkan energi yang terbaik, tetapi perasaan
‘imitasi’ sering membuat kita tidak merasa kenyang dan merangsang kita harus
makan dan kita menjadi makin ketagihan dan makin ketagihan jika kita tidak
makan sesuatu yang buruk atau merugikan kesehatan atau yang sesusungguhnya
tidak cocok untuk tubuh.
 
Seperti ketika pecandu rokok atau
narkoba selalu kembali merokok dan mengkonsumsi narkoba, mereka juga selalu
gagal menghentikannya sekalipun sesungguhnya mereka sangat tahu resiko buruknya
bagi kesehatannya sendiri maupun lingkungan. Berbagai dalih selalu dikatakan
mereka: ‘untuk sosialisasi, untuk keakraban’, ‘asal sedikit juga tidak apa, toh
semua yang berlebihan juga tidak bagus’, ‘toh banyak yang seperti itu, mereka
juga tidak apa-apa’ dan masih banyak lagi. 
 
Hehehehe..., memang amat menggelikan
dalih mereka itu........., mereka justru mencoba berusaha seperti yang lain dan
malah tidak berusaha mensosialisasikan kebiasaan hidup sehat yang sudah barang
tentu juga sangat berguna bagi yang lain serta juga masyarakat dunia dan
lingkungan. Kata mereka juga, “mensosialisasikan itu harus pelan-pelan, tidak
boleh drastik”. Hehehehehe...ini adalah ‘sekedar stimulan’ agar mereka tidak
merasa bersalah ketika makan makanan buruk. Anda tidak termasuk salah satu dari
mereka bukan?
 
Ketika mereka berusaha untuk
menghentikan kebiasaan buruknya, mereka menderita ‘kelaparan’ (craving), pusing
dan berbagai gejala tidak menyenangkan yang lain.
 
Akhir-akhir ini, sejumlah peneliti mulai
tertarik mengamati dengan apa yang disebut ‘racun yang timbul akibat
kelaparan’, yang timbul sebagai efek tidak nyaman yang kita rasakan jika kita
terus memberikan beban berat kepada pencernaan dengan makanan yang sulit
dicerna. Penelitian mereka menunjukkan bahwa orang-orang yang menerapkan pola makan orang Amerika sesuai dengan SAD
(Standar American Diet) menunjukkan indikasi bahwa 
 
mereka sesungguhnya “kekurangan
bahan bakar”atau “kelaparan”sehingga mereka terus mencari begitu banyak obat dan
suplemen tambahan sebagai stimulan1,2,3,4,5).
 
Hehehehe..., data statistik yang
mengatakan bahwa ‘terdapat sekitar 1
miliar, atau 20% penduduk dunia, kelaparan’ sudah tidak akurat lagi, karena
ternyata 99% orang Amerika dan mulai juga di Indonesia dan berbagai negara yang
lain justru kelaparan. Obesitas dan perut buncit merupakan beberapa gejala yang
ditimbulkan akibat ‘kelaparan’.
 
 
Beberapa Gejala Kelaparan
 
Manakah
hal-hal yang disebutkan berikut ini yang mengindikasikan bahwa kita lapar atau tubuh memerlukan sesuatu?
1.  pening
2.  mudah tersinggung atau ‘ga
mood’
3.  melayang
4.  bingung dan lesu
5.  gemetar
6.  mudah marah, tidak tenang,
sedih, tidak puas atau cepat bosan
7.  perut keroncongan

Jawabannya adalah
nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6 atau nomor 7? Atau semuanya? 
Yang benar adalah ‘tidak ada satupun jawaban yang benar’. Tidak satupun
hal-hal yang disebutkan di atas itu adalah pertanda bahwa kita lapar.
Gejala-gejala semacam itu akan hilang setelah beberapa minggu kita melakukan
pola makan segar yang tepat.
Jika kita makan makanan yang buruk, berlemak, banyak mengandung
stimulator rasa (perasa, penguat rasa, MSG, Hydroized Protein, Gula, Garam,
Merica, Cabe dst) dan bahan-bahan makanan yang lain yang dahulu tidak dipakai
sebagai makanan pada pertama kali sejarah manusia muncul, kita akan terus
merangsang timbulnya gejala-gejala tersebut di atas. Semua makan berlemak, yang
diproses, yang dimasak, yang masih dalam ambang batas SAD (Standard American
Diet) sesungguhnya seperti heroin, karena bersifat adiktif. Restoran-restoran
atau warung-warung yang enak selalu membuat orang ketagihan untuk kembali lagi.
Betul kan?
Dalam percobaan pada tikus1), 
begitu
tikus mulai makan makanan buruk, keseimbangan kimia pada pusat syaraf otak
mereka mengalami kerusakan dengan cepat. Respon otak pada kenikmatan menjadi
berkurang dan tikus mulai mengembangkan kebiasaan baru, mengkonsumi makanan
yang lebih banyak (berkalori tinggi) dan tinggi lemak supaya timbul kenikmatan
dengan apa yang biasa disebut dengan ‘kenyang’. Hal ini sudah terjadi sebelum
tikus-tikus itu menjadi kegemukan. 
Kemorosotan
kualitas kesehatan semacam ini juga terlihat jika tikus-tikus itu diberikan
heroin, cocaine atau steroid. Begitu pula dengan manusia, kesenangan dan
kepuasaan atau rasa ‘satiation’ tidak mudah tercapai  sehingga mereka harus lari pada obat atau
suplemen dan terus mengkonsumi makanan yang begitu buruk.
 
Karena efek serupa narkoba yang terdapat pada makanan, banyak orang
menjadi terikat pada lingkaran setan untuk selalu makan makanan buruk dan
melawan kodrati pola makan manusia yang sesungguhnya. Mereka selalu cenderung
makan ‘berlebihan’ dan hampir sebagian sangat besar orang pada saat ini
‘berlebihan’ makan. 99% penduduk dunia kelaparan, yang 20% darinya benar-benar
‘kurang makan”, yang 80% (sisanya) ‘terlalu banyak makan’.
 
Para peneliti melihat bahwa mereka yang beratnya berlebihan atau perutnya
buncit, mengalami penurunan kepekaan reseptor dopamine (salah satu reseptor
syaraf otak yang menimbulkan rasa puas), sehingga seperti juga pada gejala
kecanduan narkoba, mereka akan terus makin banyak dan makin banyak makan untuk
mengatasi efek kelaparan (craving) mereka. Makin banyak mereka makan
berlebihan, makin tinggi pula penurunan kemampuan tubuh untuk merasakan
‘kepuasaan’ (‘satiation”) dari jumlah makanan yang mereka konsumsi3,4,5). 
 
Karena itu jugalah, mereka yang berat badannya berlebih adalah mereka
yang paling sulit dalam keadaan ‘sedikit saja lapar’. Hal ini seperti
menggulung bola di tepung, makin lama akan makin menggembung. Makin banyak
mereka makan, makin tinggi berat badan berlebihnya, makin hilang kepekaan atas
‘kepuasan’ (satiation)nya, dan mereka akan makin ‘kelaparan’. Mereka mudah
menjadi emosional bila tidak mencerna makanan yang berat walaupun mereka akan
berkeringat, mengantuk dan kehabisan tenaga justru setelah makan makanan berat
atau makan makanan yang memerlukan proses pencernaan berintensitas tinggi. 
Dan ..., emosi inilah
yang memberikan sebuah lingkaran setan
tambahan yang mempersulit keberhasilan berhenti dari makanan buruk. Makin
banyak mereka makan, emosi semacam ini makin banyak timbul, dan membuat makin
membuat mereka makin sulit meninggalkannya. 
Mereka yang berpuasa tetapi sebelumnya memiliki kebiasaan makan yang
buruk akan masin sulit mengendalikan emosinya. Tujuh gejala disebutkan di atas
sungguh menggangu konsentrasi dan logika mereka.
Cara menghilangkan emosi itu adalah dengan ‘tekad lebih besar’ dan
makanlah banyak-banyak makan buah manis segar tak berlemak sebelum makan yang
lain serta ‘bersyukur’ kepada Tuhan. Kelihatannya sederhana, tetapi ‘rasa
bersykur’ kepada alam dan terutama kepadaTuhan itu sangat penting bagi
keberhasilan kita melakukan pola makan segar yang begitu baik dan ramah
lingkungan ini.
 
Selamat makin sehat, segar, bugar, bahagia, keren dan lebih ceria!
 
1) Johnson, P., “Dopamine D2 receptors in
addiction-like reward dysfunction and compulsive eating in obese rats”,  Nature Neuroscience. Vol 13:   635-641. 2010.
2) Fuhrman J, Sarter B, Glaser D, Acocella S, “Changing
perceptions of hunger on a high nutrient density diet”,  Nutrition Journal, Nov 7;9(1):51, 2010.
3) Taylor VH, Curtis CM, Davis C, “The obesity
epidemic: the role of addiction”,  CMAJ vol
182:327-328. 2010.
4) Gearhardt AN, Yokum S, Orr PT, et al., “Neural
correlates of food addiction”,  Arch
Gen Psychiatry vol 68:808-816. 2011
5) Stice E, Yokum S, Blum K, et al., “Weight gain
is associated with reduced striatal response to palatable food”,  J Neurosci vol 30:13105-13109, 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar